G30S atau Gerakan 30 September, adalah sebuah peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang terjadi pada tahun 1965. Pada malam 30 September, sekelompok militer melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal Angkatan Darat. Peristiwa ini memicu ketegangan politik yang berujung pada jatuhnya Presiden Sukarno dan naiknya Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
- Tujuan
Tujuan utama G30S PKI adalah menggulingkan pemerintahan Soekarno dan mengubah Indonesia menjadi negara komunis. PKI dikenal memiliki lebih dari 3 juta anggota, menjadikannya sebagai partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRC dan Uni Soviet.
Selain itu, dikutip dari buku Sejarah untuk SMK Kelas IX oleh Prawoto, beberapa tujuan G30S PKI adalah sebagai berikut:
1. Menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadikannya sebagai negara komunis.
2. Menyingkirkan TNI Angkatan Darat dan merebut kekuasaan pemerintahan.
3. Mewujudkan cita-cita PKI, yakni menjadikan ideologi komunis dalam membentuk sistem pemerintahan yang digunakan sebagai alat untuk mewujudkan masyarakat komunis.
4. Mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi komunis.
5. Kudeta yang dilakukan kepada Presiden Soekarno tak lepas dari rangkaian kegiatan komunisme internasional.
- Latar Belakang
Salah satu latar belakang sejarah peristiwa G30S 1965 yang paling kuat adalah isu Dewan Jenderal. Rumor tersebut menguar setelah pada beberapa tahun sebelum terjadi perbedaan pendapat antara PKI dan TNI Angkatan Darat (AD)
PKI mengusulkan dibentuknya Angkatan Kelima guna menyikapi wacana gerakan Ganyang Malaysia yang tengah didendangkan Presiden Sukarno kala itu. Di lain sisi, para petinggi Angkatan Darat menentang dua hal tersebut.
Menurut para petinggi AD, pembentukan Angkatan Kelima dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh PKI untuk merebut tampuk kekuasaan. Gerakan Ganyang Malaysia juga dinilai menguntungkan bagi PKI. Sebab, Malaysia kala itu dibekingi oleh Inggris, sekutu Amerika Serikat yang merupakan musuh bebuyutan blok komunis.
Situasi semakin memanas setelah isu Dewan Jenderal berembus. Dikutip dari Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, & Petualang (2010) yang ditulis Julius Pour, isu Dewan Jenderal menguat menjelang terjadinya peristiwa G30S.
Isu Dewan Jenderal bahkan sampai ke telinga Presiden Sukarno tentang adanya sejumlah perwira tinggi AD yang berencana merebut kekuasan pada Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965. Sukarno mengonfirmasikan isu tersebut kepada Letjen Ahmad Yani. Akan tetapi, isu dewan jenderal, sebagaimana penjelasan Yani, kenyataannya tidak ada.
Penjelasan bahwa Dewan Jenderal hanyalah sebuah isu belaka dikonfirmasi lagi oleh Letkol CKH Iskandar S.H. Dalam sidang yang diselenggarakan di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) terhadap Letkol Untung, ia menangkis semua tuduhan terkait keberadaan Dewan Jenderal yang merencanakan kudeta.
Letkol Untung selaku Komandan Batalion I Cakrabirawa divonis bersalah karena memimpin peristiwa G30S. Ia mengomando Lettu Doel Arif agar mengerahkan sekitar 60 anggota Cakrabirawa untuk menghentikan upaya kudeta yang akan dilakukan Dewan Jenderal.
Lebih jelasnya, klaim ihwal Dewan Jenderal dinyatakan oleh Bagian Penerangan G30S melalui Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1 Oktober 1965, sebagaimana ditulis dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabiwara (2008) oleh Maulwi Saelan.
Menurut para pelaku G30S 1965, Dewan Jenderal adalah gerakan subversif yang disponsori oleh CIA (badan intelijen Amerika Serikat). Dewan Jenderal sangat aktif, terutama saat Presiden Sukarno menderita sakit serius pada pekan pertama Agustus 1965. Harapan mereka, penyakit Presiden Sukarno tidak sembuh, bahkan [membuatnya] meninggal dunia. Untuk mencapai tujuannya, Dewan Jenderal merencanakan pameran kekuatan pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober (HUT TNI) 1965 dengan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dengan terkonsentrasinya kekuatan militer yang besar di Jakarta, Dewan Jenderal bahkan telah merencanakan coup kontra-revolusioner (kudeta).
- Kronologi Pemberontakan G30S PKI 1965
Kronologi pemberontakan G30S 1965 sejatinya sukar dijelaskan secara gamblang, terutama karena sampai saat ini dalang di balik peristiwa itu tidak bisa dipastikan.
Sejarah peristiwa G30S 1965 berdasarkan versi Orde Baru dalam Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI (1984), yang disusun oleh Nugroho Notosusanto dkk., bermula dari perencanaan panjang PKI. Nugroho sendiri adalah salah satu orang yang berperan penting dalam upaya rekonstruksi narasi sejarah di era Orba, terutama berkaitan dengan G30S.
Berdasarkan narasi versi Orba tersebut, PKI telah menyusun strategi untuk melakukan perebutan kekuasaan sejak mereka menjadi partai terbesar keempat dalam Pemilihan Umum 1955. Partai berhaluan komunisme itu diklaim telah membentuk Biro Khusus pada 1964.
Biro Khusus yang dipimpin Sjam Kamaruzaman, Soepono Marsudidjojo, dan Walujo, tersebut aktif melakukan pematangan situasi sekaligus penyusunan kekuatan, tidak terkecuali di bidang militer.
Pada akhir Agustus 1965, pimpinan Biro Khusus PKI mengadakan secara terus-menerus mengadakan pertemuan, yang kemudian mengahsilkan keputusan terkait pelaksanaan gerakan. Berdasarkan rilis dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopmantib) bertajuk Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) (1978), D.N. Aidit menjadi pemimpin gerakan, Sjam Kamaruzzaman selaku pemimpin pelaksana, Pono bertugas sebagai wakil pemimpin, dan Bono berperan sebagai pemimpin observasi.
Berdasarkan buku Sejarah Nasional Indonesia VI (1984), yang juga disusun oleh Nugroho, serangkaian rapat telah dilakukan oleh Biro Khusus sejak beberapa bulan terakhir. Sejak tanggal 6 hingga 29 September menjelang pecahnya peristiwa G30S, rapat itu digelar semakin intens.
Hasil serangkaian rapat itu adalah memutuskan bahwa gerakan pengambilalihan kekuasaan akan dilaksanakan pada Kamis malam 30 September 1965. Pemberontakan G30S secara militer dipimpin Letnan Kolonel Untung pada dinihari 1 Oktober 1965. Gerakan didahului dengan menculik dan membunuh para perwira tinggi, dilanjutkan merebut gedung RRI dan Telekomunikasi.
Jurnal yang ditulis oleh Andriantoro berjudul Kontroversi Keterlibatan Soeharto dalam Penumpasan G30S/PKI 1965 (2016), menuliskan kronologi peristiwa G30S PKI menurut versi Orde Baru. Berikut ini beberapa cerita singkat peristiwa G30S PKI:
1. Penculikan Jenderal Letjend Ahmad Yani
1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00 WIB dini hari pasukan G30S menjemput Letnan Jenderal Ahmad Yani di rumahnya di jalan Lembang, Menteng, Jakarta. Ahmad Yani dijemput paksa oleh para miiter. Namun ia menolak untuk ikut. Seketika ia ditembak di rumahnya tepat pukul 04.00 dan jenazahnya dibawa dan dimasukkan ke sumur Lubang Buaya.
2. Penculikan Jenderal A.H Nasution
Pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.30 WIB dini hari pasukan G30S mendatangi rumah jenderal Abdul Haris Nasution, Para pasukan akan menjemput A.H Nasution. Beruntung ia berhasil melarikan diri dan melompat pagar belakang rumahnya. Namun Lettu Pierre Andreas Tendean harus menjadi korban karena ia mengaku sebagai Nasution dan putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban karena terkena tembakan pasukan G30S.
3. Penculikan Mayjend M.T.Haryanto
1 Oktober 1965 sekitar pukul 04-00 dini hari Brigadir Jenderal sutoyo siwomiharjo dijemput pasukan G30S dengan alasan ada pertemuan di markas besar Angkatan Darat. Namun ia justru dibawa ke Lubang Buaya. Jenderal Sutoyo pun dieksekusi mati di sana dan tubuhnya dimasukkan ke dalam Lubang Buaya.
4. Penculikan Mayjend S.Parman
Mayor Jenderal Siswono Parman dijemput oleh pasukan militer pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.00 WIB dini hari. Ia dijemput paksa dan dibawa hidup-hidup ke Lubang Buaya. Setelah tiba ia dieksekusi mati dan di masukkan ke dalam Lubang Buaya.
5. Penculikan Mayjend R.Soeprapto
Penculikan Mayor Jenderal R.Soeprapto dilakukan pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.15 WIB dini hari di rumahnya di jalan Besuki, Menteng, Jakarta. Ia dijemput paksa oleh para pasukan G30S dan kemudian dibawa ke Lubang Buaya, Mayjend Soeprapto dibunuh dan dimasukkan ke dalam Lubang Buaya.
6. Penculikan Brigjend D.I.Panjaitan
1 Oktober 1965 pukul 04.15 WIB dini hari di jalan Sultan Hasanuddin, Kebbayoran Baru, Jakarta Brigadir Jenderal D.I Panjaitan dijemput sekelompok militer G30S. Saat menolak ia langsung ditembak mati di depan keluarganya. Tubuhnya kemudian diangkut dan dibawa ke Lubang Buaya.
7. Penculikan Mayjend M.T. Haryanto
Mayjend M.T Haryanto dijemput oleh pasukan militer pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.30 WIB dini hari di rumahnya di jalan Prambanan, Jakarta. Ketika dijemput, ia sempat menolak dan melakukan perlawanan. Dan ia justru ditembak di tempat. Dan jenazahnya di bawa dan dimasukkan ke Lubang Buaya.
Sejarah peristiwa G30S 1965 versi Orba mengklaim bahwa PKI membunuh semua jenderal dan perwira tersebut, kemudian dibuang di Lubang Buaya. Akan tetapi, keterangan berbeda diungkapkan oleh Serma Bungkus, salah satu anggota Cakrabirawa, yang dikonfirmasi melalui wawancaranya bersama Ben Anderson (Jurnal Indonesia, Oktober 2004).
Menurut Bungkus, perintah penangkapan para jenderal AD itu merupakan perintah atasan langsung sehingga tidak ada sangkut-pautnya dengan PKI. Sebab, sejumlah pimpinan AD tersebut dianggap termasuk dalam Dewan Jenderal, yang diisukan bakal melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno.
Perintah itu datang dari Letkol Untung, yang disampaikan kepadanya dan anggota Cakrabirawa lain melalui Doel Arif.
Dalam kesaksiannya, Bungkus menerangkan, “Pak Doel Arif mengatakan, ‘Komandan Batalion kita, Untung, memberikan perintah tugas menangani keberangkatan Cakrabirawa untuk sebuah misi. Ada sekelompok jenderal yang membentuk Dewan Jenderal dan akan melakukan pemberontakan terhadap Sukarno. Misi kita adalah menggagalkan itu,'”
Meskipun dalam prosesnya ada beberapa jenderal yang mati di tempat, anggota Dewan Jenderal lainnya bisa dibawa ke markas dalam kondisi masih hidup. Yang meninggal hanya Ahmad Yani dan Panjaitan.
“Sejauh yang saya ingat, saya tahu [apa yang terjadi sesudah penangkapan itu]. Wong, hanya dua yang meninggal, Pak Yani dan Pak Panjaitan. Sisanya masih hidup. Bahkan, M.T. Haryono masih hidup. Yang lain seperti Pak Sutoyo [dan] Pak S. Parman masih hidup tanpa goresan sedikitpun.”
Bungkus baru melihat kematian para jenderal yang lain pada pagi hari sekitar pukul sembilan. Mereka, menurut Bungkus, ditembak oleh anggota militer yang lain.
8. Pembubaran Partai Komunis Indonesia
Pada tanggal 12 Maret 1966, dengan mengatasnamakan Presiden Soekarno, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 perihal pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Isinya, membubarkan Partai Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seasas, berlindung, dan bernaung di bawahnya.
Kedua, Soeharto menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. Dikutip dari harian Kompas, Senin 14 Maret 1966, keputusan presiden tersebut dikeluarkan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan serta putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh PKI yang dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September.
Keputusan tersebut kemudian diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966. Langkah ini merupakan kebijakan pertama Soeharto setelah menerima Surat Perintah 11 Maret sebagai upaya mengembalikan stabilitas negara. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, upaya pembubaran PKI bisa dilihat dari sisi politis dan bukan dari sisi ideologi.
Menurut Asvi, dengan dibubarkannya PKI, berarti upaya pengalihan atau perebutan kekuasaan dari Soekarno akan semakin mudah. Asvi melihat saat itu Soeharto berusaha untuk memisahkan Soekarno dengan orang-orang terdekat dan para pendukungnya yang setia. “PKI itu pendukung Soekarno. PKI itu dibubarkan bukan karena ideologinya, tetapi karena partai yang mendukung Soekarno,” ujar Asvi ketika ditemui akhir pekan lalu, (6/3/2016). “Kabarnya anggotanya mencapai 3 juta orang. Artinya, 3 juta pendukung Soekarno itu sudah bubar,” kata dia. Upaya menghabisi kekuatan Soekarno bisa dilihat di serangkaian peristiwa berikutnya. Pada tanggal 18 Maret 1966, menurut versi Asvi, Soeharto atas nama Soekarno mengeluarkan perintah penahanan sementara terhadap 15 menteri yang setia kepada Soekarno.
Menteri yang ditahan itu adalah Oe Cu Tat, Setiadi Reksoprodjo, Sumarjo, Soebandrio, Chairul Saleh, Soerachman, Yusuf Muda Dalam, Armunanto, Sutomo Martiprojo, Astrawinata, Mayjen TNI Achmadi, Moch Achadi, Letkol Inf Imam Syafei, J Tumakaka, dan Mayjen TNI Sumarno. Sementara itu, menurut versi buku biografi Soeharto, penahanan tersebut dilakukan karena ada sejumlah demonstran menuntut perombakan kabinet.
Mereka menduga ada beberapa menteri yang terindikasi terlibat peristiwa G30S dan dekat dengan PKI. Mereka juga meminta menteri-menteri tersebut ditangkap dan diserahkan ke Makostrad. Rangkaian hari-hari sesudah itu, Soeharto melakukan pembubaran pasukan pengawal Presiden Tjakrabirawa.
Mereka dipulangkan ke daerah masing-masing pada 20 Maret 1966. Pemulangan itu dilakukan terhadap empat batalyon dan satuan detasemen atau sekitar 3.000 sampai 4.000 pasukan. “Orang-orang yang menjaga dan loyal kepada Soekarno itu disingkirkan. Mereka adalah kekuatan pendukung Bung Karno. Kemudian, tugasnya diserahkan kepada Pomdam Jaya. Seakan Soeharto ingin mengurung dan mengawasi Soekarno, bukan mengamankan,” tutur Asvi.
Sumber:
Informasi dan Konfirmasi, Hubungi:
📞0852-1576-0036 (Admin) Kunjungi Sosial Media Kami,
IG: @officialinfaqberkah FB: Infaq Berkah